Hagia Sofia Jadi Masjid: Ketika Erdogan Menjadi Neo Ottoman
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Hagia Sofia jadi masjid? Berita ini menjadi berita terheboh di media massa dunia. Berbagai saluran televisi internasional melakukan breaking news dan media seperti New York Times juga menuliskannya di dalam laman berita daringnya. Hagia Sofia kembali menjadi masjid menjadi berita utama internasional.
Tapi bagi anda yang rutin mengikuti dan berkunjung ke Turki, berita ini sebenarnya sudah menjadi lagu lama. Dan sudah menjadi niat semenjak lebih dari dua dekade terakhir ini, terutama setelah partai yang kini dipimpin Erdogan berkuasa. Mulai saat itu cita-cita menjadikan Hagia Sofia menjadi masjid kembali mengemuka dan semakin kuat. Hari ini adalah puncaknya.
‘’Ya memang keputusan ini berbau politik, terkait juga pemilu di Turki. Tapi bukankah di masa lalu keputusan Hagia Sofia menjadi museum oleh Kemal Atturk juga politik. Bedanya waktu itu Kemal menganut politik liberal sekuler ala barat, Erdigan memiih menganut Islamis. Lalu apa masalahnya?’’ kata sahabat Bosnia saya yang lahir di Serbia, Edin Hadzalik.
Memang semua tahu, setelah pada waktu perang salib, yakni pada 1453 tahun Kosntatinopel jatuh ke Kaisaran Ustamaniyah yang dipimpin oleh seorang raja belia, yang masih berumur 20 tahun: Muhammad Al-Fatih. Sultan dengan usia amat muda Turki ini lazim dipanggil Al Fatih (sang pembebas). Sebaliknya, di kalangan barat di sebut the Conqueror (Sang Penakluk).
Maka semenjak 29 Mei 1453 --setelah hampir tiga bulan Konstantinopel dikepung-- yang bertepatan dengan menjelang hari Jumat, maka Hagia Sofia yang semula adalah gereja Kristen Orthodok diubahnya menjadi masjid.
Shalat Jumat pun digelar di sana. Dan Al Fatih sendiri yang menjadi imamnya.
Maka fungsi Hagia Sophia yang sebenarnya kalah megah dengan Masjid Biru yang berada persis di depan Istana Topkapi, kemudian berubah menjadi masjid. Beberapa faslitas gereja mungil ini lalu dipakai untuk mendukung ibadah kaum Muslim kemudian ditambahkan. Mulai dari mihrab, mimbar, air mancur untuk wudhu, sejumlah menara, dapur, perpustakaan, makam, dan pondok Sultan.
Beberapa fasilitas dan ornamen di antara peninggalan kuna penganut Kristen Orthodok tersebut masih dapat dilihat sampai saat ini di Hagia Sophia. Berbagai bangunan tambahan sebagai penguat pondasi agar Hagia Sofia tidak roboh ketika ada gempa (Turki seringkali ada gempa) ditambahkan oleh para Sultan Turki berikutnya.
Lagi pula melalui ornamen yang ada di Hagia Sofia bagi publik sebenarnya bisa menjadi kajian adanya perbedaan konsep teologi Kristen Ortodoks yang hanya membolehkan gambar dua demensi dalam sosok Yesus dan Bunda Maria, sedangkan Katolik Roma, selain membolehkan gambar dua dimensi, mereka juga membolehkan adanya bentuk tiga dimensi (misalnya patung) pada sosok Yesus dan Bunda Maria.
Uniknya lagi, meski berubah menjadi masjid, tak satu pun ornamen gereja ada yang dihancurkan. Di bagian kubah masjid Hagia Sofia yang sebelumnya bergambar salib dan bunda maria, tetap dibiarkan. Dan orang masih menikmatinya sampai sekarang di mana tulisan kaligrafi Allah dan Muhammad, serta gambar buan bintang (yang banyak orang disebut sebagai lambang Islam, padahal itu lambang Turki Ottoman) di biarkan begitu saja. Tak ada satu ornamen pun diganggu. Bahkan tulisan kutipan Injil yang ada di pintu masuk dibiarkan sampai sekarang. Semua utuh sampai sekarang.
Patut diingat pula Hagia Sofia berfungsi sebagai masjid selama lebih dari 500 tahun. Baru pada 1934, pendiri Turki modern Mustafa Kemal Atatürk memutuskan untuk merestorasi gereja dan masjid yang berasal dari zaman Kostantinopel dan Ottoman (Ustamaniyah) ini menjadi museum.
‘’Jadi jelas sekarang, berbeda dengan Ottoman ketika menaklukan Romawi di Konstantinopel, tak ada bangunan gereja yang dihancurkan. Ini beda ketika tentara Salib menguasai Spanyol, masjid-masjid dengan ornamen indah di robohkan. Bahkan di sana hanya ada satu dinding masjid saja yang disisakan sebagai bagian bangunan yang kemudian diubah menjadi gereja. Istana Al Hambra pun begitu. Semua penghuninya diusir pergi dengan seruan dari Paus bersama raja, yakni Inquisisi,’’ kata Edin.
Tak hanya itu, lanjut Edin, “ Siapa yang masih mau tinggal di Spanyol harus mengganti agamanya. Kalau tidak akan dihukum mati dengan cara dipancung, dan kalau tidak mau maka dia harus ke luar dari Spanyol."
Akibatnya, sebagian besar Muslim pun pergi. Kaum Yahudi yang selama ini hidup tentram di Spanyol pun pergi. Ini yang tidak terjadi ketika Al Fatih menaklukan ibu kota Romawi, Konstantinopel, yang kini menjadi disebut Istanbul.
Pada waktu Ottoman memperluas wilayahnya sampai ke negeri Balkan, hal yang sama juga terjadi. Ottoman tidak pernah menghancurkan gereja. Mereka membiarkan tempat ibadah itu sampai sekarang. Semuanya kini masih bisa terlihat dan menjadi bukti, semua gereja tua di wilayah Balkan yang kemudian sempat menjadi Yugoslavia tetap utuh. Tak ada yang di rusak apalagi dihancuran.
’’Dan ingat ajaran Islam pun begitu. Dalam perang pun para rahib dan tempat ibadah tidak boleh diganggu. Selain itu pula Ottoman, meski berkuasa mereka tidak pernah memaksa penduduk Balkan pindah agama. Bahkan sebaliknya, Ottoman diminta datang oleh rakyat lokal yang mengeluh mereka sudah benar-benar tidak punya apa-apa karena tanah mereka selama ini dikuasasi oleh institusi agama. Mereka hanya ‘buruh tani’ saja dengan membayar upeti. Maka ketika Ottoman datang mereka senang bukan main, karena tanaj dibagi-bagi ke rakyat. Soal ini bisa dicek dan dinikmati dalam pesta rakyat di Bosnia di setiap musim semi atau di bulan Juni,’’ kata Edin lagi.
Tapi sebaliknya, ketika Ottoman surut dan wilayah Balkan kemudian ditaklukan kerajaan yang beragama Kristen, hal yang sama tidak terjadi. Kepemilikan tanah balik kembali ke penguasa. Dalam soal agama maupun rumah ibadah, di ibu kota Serbia dahulu misalnya dahulu ada ratusan masjid, semua dihancurkan oleh penguasa baru. Di Budapets misalnya, malah mulai tahun 1800 ke luar aturan dari pihak kerajaan dinasti Austro Hungarian yang menyatakan melarang pembangunan masjid.
Bahkan di zaman Joseph Broz Tito berkuasa, memang ada satu masjid yang dibangun atau difungsikan kembali, tapi ini untuk kepentingan politik dia karena menjadi anggpta Non Blok di mana banyak tamu negara dari negara Muslim yang berkunjung. Tapi selama Tito yang komunis dan ateis tak satu pun bangunan agama yang dibangun dan semua dibiarkan.Ini semakin membuktikan bia komunis itu anti agama.
‘’Jadi dari kisah profesor saya sewaktu kuliah di Serbia, antara Balkan hingga Belgia di sepanjang jalan berdiri ratusan masjid di masa Ottoman. Tapi ketika kekuasaan berganti masjid-masjid itu dirobohkan. Hanya beberapa saja yang tersisa,’’ ujarnya.
Jadi, berfungsinya Hagia Sofia menjadi masjid kembali sebenarnya tak mengherankan. Bahkan ini bisa menjadi bukti bahwa agama Islam dan penguasanya terbukti begitu toleran terhadap umat beragama lain. Dan di sanalah peradaban manusia masa kini harus berkaca. Bukan malah sibuk klaim paling toleran dan menuduh pihak lain radikal. Jadi siapa yang radikal sebenarnya? Kalau mau tahu pergilah ke Hagia Sofia yang letaknya di dalam Istana Topkapi itu.
Ingat pula di dalam kompleks istana yang megah dan tubir selat Bhosporus jejak itu masih bisa terlihat hingga sekarang. Beda sekali kan dengan kasus India ketika sekelompok orang India yang bukan Muslim sibuk hendak meruntuhkan Masjid Barbie yang tua hanya karena klaim bahwa itu bekas kuil dewa Rama?
Dan semua itu, di Hagia Sofia itu tidak terjadi. Uniknya apa yang kini terjadi di Hagia Sofia, di mata orang Barat dan medianya semakin mengeksiskan pandangan bahwa Erdogan di bawah Turki layaknya neo Ottoman. Ingat Erdogan sempat mengatakan tak sudi masuk Uni Eropa, karena kala itu ada klaim bahwa akar budaya Eropa milik sebuah agama tertentu. Padahal faktanya tidak demikan, akar budaya Eropa adalah sejatinya merupakan kepercayaan orang 'pagan'.
Belum ada Komentar untuk "Hagia Sofia Jadi Masjid: Ketika Erdogan Menjadi Neo Ottoman"
Posting Komentar